Cerpen

Relativitas Raya

Relativitas Raya

Betapa sombongnya hati manusia yang selalu merasa berkuasa, terutama terhadap dirinya. Sampai mengira kehidupan dan kematian atas dirinya dapat ia tentukan sendiri. Berani memutuskan nyawanya sendiri. Tak pernah ada yang mengabari sebesar apa manusia dapat menguasai dirinya, kecuali yang tertinggal dari sejarah.

Aku memiliki kebebasan untuk berbuat semauku. Itu prinsipnya. Karena aku memiliki hak asasi, dan itu dilindungi negara. (walaupun tidak jelas juga bagaimana bentuk perlindungan itu). Lalu, kenapa kadang aku berbuat yang bukan kuinginkan dan menerima apa yang tidak kuinginkan? Aku bisa tahu apa saja. Aku bisa melakukan apa saja. Tapi,  mengapa ada hal-hal yang tidak kumengerti, padahal aku harus mengerti itu? Karena aku bukan maha tahu. Akhirnya aku bukanlah maha bebas. Karena aku benar-benar terbatas.

Jika karena berpikir aku ada. Aku merasa tak hilang ketika tidak berpikir. Aku hanya tidur yang entah kapan akan berakhir. Masa itu seperti bermain kartu. Tidak terasa matahari sudah terbit lagi.

Dengan mudahnya aku berpendapat manusia itu tidak bebas. Karena aku, yang mengaku manusia, tidak bisa membuat matahari tetap sembunyi ketika kantukku belum hilang. Ketika pikiranku begitu kacau. Lucunya aku pun tak bisa memerintahkan otakku untuk diam tak meracau.

Ketika aku ingin menikmati indahnya sinar rembulan, aku tak mampu membuatnya muncul. Bahkan aku tak bisa menggoda waktu untuk kembali ke detik sebelumnya, saat aku merasa aku paling hebat. Berada di atas podium.

Orang bilang aku berdiri di atas podium nomor satu. Mereka tidak berlebihan. Aku memang merasa begitu. Apa yang tidak kudapatkan? Hampir tidak ada. Selama ini aku tak bisa membayangkan diriku yang tidak begini. Karena memang tidak ada yang perlu dibayangkan tentang itu.

Kadang aku bertanya, mengapa begitu? Aku ini bebas dan aku selalu punya waktu untuk tertawa.

Lucunya, aku belum tahu bagaimana rasa bahagia.

Matahari menjulurkan lidahnya, meledekku. Kutarik selimut menutup mukaku. Bahkan aku tak bisa meminta telingaku berhenti mendengarkan kata-kata cemoohannya. Memangnya matahari tak punya pekerjaan lain selain mencemooh orang sehebat aku?

Sedikit demi sedikit dia meninggalkanku, sambil tersenyum pahit melihatku tak menyerah. Tak menyerah pada ajakannya untuk bangkit, memanggang wajah di bawahnya. Oh tidak kali ini. Aku tak kan mau pasrah. Sesekali aku ingin merasa hampa.

Bertahun-tahun aku bergelut menyaingi terik yang diberikan matahari pada bumi. Selama itu pun aku bertemu hal yang membuatku tertawa. Aku tak pernah menyangka sebelumnya, di dunia ini banyak sekali hal yang bisa ditertawakan. Termasuk menertawakan orang-orang yang tertawa.

Matahari benar-benar meninggalkanku masih terbaring di balik selimut.

Tapi,  sialnya sang waktu bergegas juga. Tanpa pernah memberi sedikitpun konfirmasi ia tergesa entah mau ke mana. Apa yang ia mau? Mungkinkah karena eksistensi diriku ia tak tahan lagi menjadi bagian perputaran kehidupan?

Aku melongo. Memandang punggungnya yang transparan. “Hei! Kamu kira kamu hebat? Tertawa saja! Aku tidak gila, jadi tak perlu mengekorimu seperti anak anjing.” Aku duduk di atas tempat tidurku, merenungi kepergiannya yang tiba-tiba. Tanpa pernah mengirimiku konfirmasi.

Dia terkekeh tanpa menoleh. Membuatku kesal saja.

Aku duduk. Memandang mereka pergi. “Oh menyebalkan, kenapa aku harus memikirkan mereka?” Dan sesuatu yang tidak kuharapkan merayapi sela hatiku. Khawatir, aku punya rasa khawatir sekarang. Untuk apa?

Otakku diam. Kepergian waktulah penyebabnya. “Hei otak, apa kau juga sedang memberontakku sekarang?”

Ia tetap membisu. Membuatku heran, sedahsyat itukah waktu berbuat padanya? Mengubah sifatnya yang selalu merecokiku menjadi super cuek seperti ini?

Apa-apaan ini? Jadi semuanya memberontak padaku? Kekuasaan macam apa ini?

Rencanaku harus segera kujalankan. Aku punya strategi. Seperti para politisi. Sebenarnya aku tidak suka politik. Oh ralat, aku membenci politik. Tapi,  kadang aku harus menggunakannya. Itu berguna untuk mengatasi hal-hal yang tidak kuketahui.

Kita lihat rencana A. Isinya aku..aku..aku tidak bisa mempercayai ini. Isinya aku harus melanjutkan ke rencana B. Oke, rencana B isinya: KOSONG. Kosong!

Tubuhku melunglai. Rasanya bumi tak bergravitasi lagi, tiba-tiba tubuhku terpental ke udara. Tak mau kembali lagi ke daratan. Sekilas teringat akan kiamat. Tapi,  hanya aku yang mengalaminya.

Di udara tubuhku beringsut. Seolah udara tak sudi menerima keberadaanku. Aku meluncur dengan kecepatan hampir mendekati setengah kecepatan cahaya. Seolah seluruh isi jagat raya mempersilakan aku pergi.

Tubuhku melewati mars, menabrak asteroid, melewati jupiter…pluto. Aku dipecat dari bima sakti! Entah kekuatan gravitasi yang mana yang menarikku ini. Dalam beberapa menit aku sudah tiba di ujung galaksi lain, entah apa namanya. Seandainya aku ilmuwan akan kunamai dengan nama kucingku, Si Kurus.

Berkali-kali bintang-bintang menggempurku. Panasnya minta ampun. Beribu-ribu remah antariksa menghantamku. Tapi,  aku tidak mati.

Aku lupa tidak ada waktu sekarang. Jadi yang barusan itu kecepatan macam apa?

Lucu! Aku ingin meledak saja. Tapi,  tidak seperti big bang. Memangnya aku kosmos? Aku ini penghuni bumi, bagian dari kosmos dan rekan segala isi alam semesta. Jadi tolong kembalikan aku ke bumi. Tolong…

“Kamu bicara dengan siapa?”

Blas! Aku berhenti. Semuanya berhenti. Aku mengambang di antariksa di antara gravitasi-gravitasi. Tidak ada waktu, tidak ada kecepatan, tidak ada jarak. , aku tidak tiada.

Lalu, siapakah yang bicara padaku dan akankah ia benar-benar menghentikan kegilaan ini? “Kau bisa mendengarku?” tanyaku mencoba menutupi kesumringahan.

“Bisa mendengarmu? Memang kau pikir aku ini siapa?”

Aku terhenyak. “Kamu alien kan?”

“Haha..aku di sini. Sejak kau membuka matamu untuk pertama kali. Sejak kau menutup matamu dengan sehelai kain. Menghindari sengat matahari.”

“A… a… a…..,” apa yang ingin kukatakan? Aku tidak mengerti.

“A a a! Sudah lama aku ingin berlepas diri darimu. Tapi,  aku tidak bisa.”

“Ka-kamu..” kepalaku melirik kiri dan kanan. Memeriksa keberadaannya yang masih misteri.

“Yah, dengan penuh sesal aku harus mengatakan, ‘tidak bisa meninggalkanmu’, walaupun kau tidak peduli. Aku rajamu.”

“Hah, jangan main-main. Aku tidak punya dua raja.”

“Memang tidak. Aku rajamu. Satu-satunya.”

“Haha, tampakkan dirimu, pembohong!”

“Pembohong? Apa kamu tidak pernah berpikir sebelum mengatakan itu?”

“Otakku sudah mati.”

“Aku tidak akan bilang ‘pantas’ untuk pendapatmu itu.”

“Apa peduliku dengan penilaianmu?”

“Yah memang sudah lama aku berusaha untuk tidak mempedulikan ketidakpedulianmu.”

“Kalau kau bukan pembohong, kau tidak akan takut untuk muncul di hadapanku.”

“Hahaha…, kamu pikir aku ini apa? Kamu kira aku ini punya tangan dan kaki sepertimu? Sejak dulu sampai sekarang aku selalu menyertaimu. Tapi,  kamu tidak pernah menyadarinya.”

“Sejak dulu? Oke, siapa kamu sebenarnya dan apa maumu?”

“Mauku? Mauku adalah maumu! Kenapa kau tanya padaku?”

“Kau coba permainkan aku, hah?!”

“Raya, Raya. Betapa sombongnya dirimu. Kau tidak mengenali dirimu sendiri.”

“Tentu saja aku kenal diriku. Kau tak perlu mengajariku!”

“Tidak! Kau tidak mengenali dirimu. Hahahaha!”

Betapa benci aku mendengar tawanya. Dia pikir dia siapa menertawaiku seperti itu. Memangnya aku idiot? Tidak boleh aku biarkan! Andai aku bisa meninjunya.

“Ah sudahlah! Aku tidak mau bicara lagi!”

“Kau tidak akan mempertanyakan aku. Bila kau kenali dirimu sendiri.”

“Hei apa sih maksudmu? Kau hanya membuatku marah. Pergi sana! Jangan usik aku lagi.”

“Hahaha..! Kau ini sungguh lucu! Bagaimana mungkin kau menyuruhku pergi? Aku sudah bilang, aku tidak bisa pergi, walaupun aku ingin.”

“Wuaaaaa!”

“Hei, kamu kenapa?! Hahaha.. pertunjukkanmu sudah selesai. Prestasi apa yang kamu dapatkan? Mau tahu?”

“Wuaaaaa! Pergi kau!”

“Heh.” Suaranya terdengar sebagai ejekan bagiku. “Memang susah berdialog dengan juara. Ehm maksudku juara kebodohan. Hahaha!”

“Yah! Aku memang bodoh! Kamu senang?!”

“Baiklah, baiklah. Em..sebelum kau mati tertawa. Biar aku menertawakanmu untuk terakhir kalinya. Ha…,”

“Aku mau kembali!” teriakku. Dia yang entah apa dan di mana, tidak meneruskan tawanya. Oh mungkin memang harus dilawan dengan ketegasan. Setegas matahari menyengat kulitku, setegas waktu mengganti siang dan malam dengan persis.

“Aku mau kembali dan memanggang wajahku lagi.”

“Oh, begitu?  Di saat matahari telah pergi dan waktu..? Aku beri tahu yah, waktu tidak akan pernah mau kembali.”

“Ya ampun, apa kau pikir aku sebodoh itu? Aku sudah lelah menggantung di sini. Aku butuh kejelasan. Kalau lebih baik bagiku mati saja. Maka untuk apa aku hidup?”

“Pertanyaan yang bagus. Untuk apa kamu hidup?”

“Kalau matahari sudah benci padaku, maka aku tak akan pernah bisa berjalan. Apa kamu pikir aku bisa membawa bintang ke dalam duniaku untuk menggantikan kegelapan yang ditinggalkan matahari untukku?”

“Apa kamu tidak pernah merasa aneh dengan semua pertanyaanmu itu?”

“Aha…ya, ya, ya. Sekarang aku tahu. Aku tidak pernah mengajukan pertanyaan itu sebelumnya. Ya Tuhaaan…ada apa dengan diriku.”

“Raya! Apa yang kamu katakan itu?”

“Apa? Kamu jangan membuatku makin bingung.”

“Kau sebut apa barusan itu?”

“Apa itu penting?”

“Apa kamu baru mengatakan Tuhan?”

“Hm? Ya? Apa begitu? Ya, aku kira begitu.” Aku tertunduk lesu. Dia pun diam. Titik putih menyembul di balik tebaran batu-batu angkasa yang tertata rapi. Mendorong dadaku, menjejalkanku seperti sepotong roti ke dalam mulut.

Tubuhku mundur, gravitasi telah kembali. Menembus lapisan-lapisan kegelapan yang diperciki jatuhan bintang. Mataku tak sanggup menyaksikannya. Sekuat mungkin aku terpejam. Lingkaran-lingkaran yang memutar, menghalauku dari lapisan-lapisan kegelapan itu. Lalu BUM! Tubuhku menimpa tembok dingin. Tulang rasanya patah-patah. Otakku pecah. Aku kembali ke bumi. Terus terang ada rasa senang menyembul. Tapi,  tiba-tiba saja berubah menjadi rasa sakit yang luar biasa. Seperti dicubiti ribuan semut rangrang.

Aku pingsan.

ditulis oleh Rani pada tahun 2006

«

»

what do you think?

Your email address will not be published. Required fields are marked *