Cerbung

Saruan

Saruan

Supaya kamu tahu rasanya menderita. Supaya kamu tahu pedihnya mencintai. Supaya kamu tahu getirnya membenci. Supaya kamu tahu perihnya perjuangan mencari jati diri. Supaya kamu selalu ingat rasanya berbuat kesalahan. Begitu kata Utun pada Jamil. Sosok yang mengagumkan itu seringkali membuat Jamil terseok-seok. Tutur katanya yang dingin meredam bara yang diam-diam bersemayam dalam jiwanya.

Namun, sedikitpun Jamil susah untuk memahami. Walaupun memang Utun tak pernah bermaksud untuk dimengerti siapa pun. Ia hanya orang bebas yang ingin mengungkapkan kebebasannya. Dengan cara yang ia inginkan. Sebagai seorang yang berusaha memiliki tanggung jawab, Jamil merasa perlu mendengar perkataannya. Meskipun hanya sedikit yang ia setujui.

“Ke mana pun kamu pergi, kakimu akan tetap berpijak di bumi.”

“Yah, aku tahu. Aku juga sadar kepalaku tidak akan pernah bisa menyentuh awan. Sehitam apa pun awan itu. Sampai hujan menderas darinya pun aku ini hanya seorang Jamil, kan? Paling-paling aku akan mati kedinginan karenanya.”

“Kamu masih keukeuh mau pergi? Ya sudahlah. Aku harus menyelesaikan penelitian baruku. Tanganku sudah tak sabar.”

Utun hendak bangkit dari kursinya, Jamil tak kuasa mencegahnya walaupun ada tanya yang ingin ia ungkapkan.

“Oh iya, kemarin gadis itu datang lagi,” kata Utun ketika berdiri.

“Apa? Masih belum kapok juga? Kenapa tidak kamu usir saja.”

“Kali ini dia bersama seorang laki-laki. Entah siapa, ia tidak bilang.”

“Apa mungkin itu Bobi, kembarannya?”

Utun mengangkat bahu. “Dia hanya menitipkan sebuah surat untuk ibumu. Setelah itu langsung pergi.”

“Untuk ibu?” Jamil tak tahan untuk tidak mengernyitkan keningnya, sangat tidak biasa. “Aku juga heran. Tapi, siapa yang bisa menebak pikiran gadis seperti Popi? Kamu bisa?”

“Hm..aku pikir dia hanya ingin menjilat ibu. Tapi, aku yakin ibu tidak akan termakan oleh rayuannya.”

Kini giliran Utun yang mengernyitkan kening.

“Kayaknya perkiraanmu meleset. Apa pun isi surat itu, ibumu tampak ceria setelah membacanya.”

“Jangan-jangan…”

“Jangan-jangan apa?”

“Ah nggak. Kamu bukannya mau meneliti lagi?”

“Oh iya.”

“Kenapa masih berdiri di situ?”

“Aku.. aku lupa sesuatu. Aku belum bisa membayar utangku padamu.”

“Alah, Tun. Masih juga kamu pikirkan tentang itu? Aku kan sudah bilang…”

“Oke-oke, aku mengerti. Maafkan aku yah. Sekarang sebaiknya aku pergi saja.”

Selalu saja ia begitu. Terlalu perasa dan peka. Padahal berulangkali Jamil menegaskan Utun tidak berutang apa pun padanya. Hanya begitu saja. Mana pernah ia memperhitungkan hal semacam itu. Apalagi pada saudara sendiri?

Cerita Utun yang ini begitu menarik. Mana bisa seorang Popi menulis surat untuk ibu Jamil. Tidak pernah terpikirkan gadis itu akan nekat menyampaikan urusannya dengan cara begitu. Kelemahannya sudah terbongkar, maka mampuslah Jamil. Pikiran Jamil tak mau terjebak oleh prasangka-prasangka. Tapi terlanjur, ia sudah menganalisis sampai tahap tujuan Popi yang sebenarnya. Hal paling penting Jamil harus tahu apa isi surat itu. Apa yang bisa membuat ibunya tetap ceria dan malah tidak tersinggung oleh surat itu?

Lagipula untuk apa dia membawa Bobi? Itu tidak akan sedikitpun menggugahnya. Menjilat dengan kekurangan orang lain, sungguh perbuatan yang licik. Jika tidak bisa dibilang memanfaatkan.

Jamil mendapati ibunya di dapur sedang memasak. Kegiatan  rutin setiap sore. Setelah berbasa-basi sedikit ia utarakan juga isi hatinya. “Bu, katanya kemarin ada tamu yah?”

“Popi, ibu sih gak sempat ketemu. Tapi, dia titip surat. Tuh ibu taruh di laci meja ruang tengah.”

Jamil tidak menganggap ujaran ibunya sebagai perintah untuk mengambil surat itu. Karena ia sendiri tahu untuk siapa surat itu ditulis.

“Kalau boleh tahu apa katanya?”

“Mana ibu tahu. Ibu kan gak membacanya.”

Jamil kaget.

“Ibu gak membacanya? Kenapa?”

“Kamu ini mau nuduh ibu tukang intip surat orang atau apa? Tentu saja ibu gak baca. Itu kan surat buat kamu!”

“Tapi, tapi…”

“Baca saja sendiri. Kamu kan sudah dewasa. Surat cinta saja masa harus ibu yang bacakan?”

“Bu-bukan begitu, Bu, maksud Jamil. Masalahnya tadi…”

“Sudah sana, jangan ganggu ibu. Jadi gak konsentrasi ini masaknya.”

Tidak mungkin ibu berbohong. Begitu juga Utun.  Lalu, apa maksudnya surat itu untuk ibu? Siapa yang bicara bohong di sini? Jamil benar-benar tidak mengerti permainan siapa yang sedang berlangsung saat ini.

Gara-gara kegagalannya, semua ini terjadi. Seorang gadis, mahasiswi mengejar-ngejar, meminta Jamil menikahinya. Padahal ia belum pernah kenal dengannya. Entah dapat ide dari mana gadis itu ingin ia menikahinya. Beberapa kali ia mendatangi rumah Jamil dan bercerita segala macam tentang dirinya. Cerita yang sama sekali tidak penting baginya. Dengan terpaksa kunjungan-kunjungan tak resminya itu berujung pada pengusiran. Sialnya kali ini gadis itu nekat membawa serta adik kembarnya Bobi, yang menurut ceritanya mengalami kemunduran jiwa dan perlu teman untuk bicara.

Jamil tak bisa mengerti jalan pikirannya. Apa ia pikir Jamil psikiater yang bisa menyembuhkan orang sakit jiwa? Lalu, apa hubungannya semua itu dengan menikah?

Semula ia tak ingin ambil pusing. Tapi, ini semua akhirnya membuatnya terganggu, tepatnya makin terganggu setelah sekian kekacauan yang ia timbulkan di perusahaan konveksi milik ayahnya. Jadi makin bulatlah tekadnya. Keputusannya kini jadi makin mantap, tak boleh ditunda-tunda lagi. Hari ini juga ia akan bersiap-siap. Mengepak pakaiannya dan berangkat dengan bus besok pagi ke kota Jakarta.

Rasa penasaran menggelitiknya, ia ingin tahu isi surat Popi. Mungkin dengan demikian ia akan tahu maksud Popi sebenarnya dan tahu harus bersikap bagaimana. Sempat terlintas untuk melaporkannya ke polisi. Tapi untuk apa?

Tanpa pikir panjang lagi ia buka laci meja dan ajaib, ia tidak menemukan apa pun di sana selain sepucuk surat berwarna putih yang tertuju untuknya. Namun, itu bukan dari Popi.

Assalamualaikum,

Ketika kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah pergi jauh. Aku minta maaf, Mil. Di saat-saat seperti ini aku seharusnya membantumu membangun kembali usaha ayahmu. Seharusnya aku membantumu (setidaknya) memikirkan cara untuk mempertahankan rumahmu supaya tidak diambil oleh bank. Seharusnya aku mengembalikan dana penelitian yang kaupinjamkan padaku. Tapi, aku sekarang lari. Aku pergi. Aku tidak tahan dengan semua rasa bersalahku. Sebaiknya aku menjauh darimu, Mil. Mungkin untuk sementara. Karenanya aku tidak bisa membantumu.

Semoga kamu berbahagia dengan Popi. Semoga kamu bisa meraih kembali perusahaan ayahmu, Sobat. Semoga semuanya kembali normal setelah aku keluar dari kehidupanmu. Salam untuk ibu. Sampaikan juga maafku.

Wassalam,

Utun

Jamil meremas kertas itu sampai menjadi bola dan menghempaskannya ke tembok. “Sial! Bajingan!” Ia menendang kursi untuk melampiaskan kekesalannya. Lalu, disambarnya gagang telepon dan memencet nomornya dengan cepat.

Tut, tut, tut. Bunyi pesawat telepon yang ia panggil.

Dibantingnya gagang telepon itu. “Ibu, yah ibu.”

Jamil bergegas ke dapur. “Bu,” ia berusaha tenang, “Siapa yang menaruh surat itu di laci meja?” Ibunya tidak langsung menjawab, sedang menyicip sup. “Ibu.”

“Yang ngasih surat itu ke ibu siapa?”

“Kamu kenapa nanya-nanya hal yang gak penting begitu? Sebaiknya kamu istirahat, Nak. Nanti ibu antar sup ke kamarmu.”

“Bu, Jamil serius. Siapa yang memberikan surat itu kepada ibu?”

Ibu memandang anaknya.

“Sobatmu itu.”

“Berarti benar,” ucap Jamil lemas.

“Apa yang benar, Mil?”

“Bu, dialah yang telah menghancurkan perusahaan kita. Juga yang telah menghamili Popi.”

“Apa? Jangan sembarangan menuduh. Ibu pikir gadis itu sama sekali tidak hamil. Walaupun ibu belum bertemu dengannya. Tapi, begitu membaca suratnya ibu tahu dia hanya berpura-pura.”

“Ibu baca surat darinya? Maksudnya dia memberi surat pada ibu?”

“Yah dia memberi dua surat untuk kamu dan untuk ibu kemarin. Punyamu ibu taruh di laci.”

“Begitu?”

“Tapi, tidak sedikit pun dia menyinggung Utun atau nama lain. Dia hanya mengatakan menyesal telah menganggumu. Dan ia tidak akan mengganggumu lagi. Awalnya ibu pikir ini lelucon yang tidak lucu. Permainan ini sengaja diciptakan entah untuk tujuan apa. Tapi sudahlah. Ibu jadi lega kamu terbukti tidak berbuat senista itu. Iya, kan?”

“Bu, aku jadi makin tidak mengerti. Surat di laci itu dari Utun. Dia pergi, Bu.”

“Benarkah? Apa kamu sudah cek kamarnya?”

“Sudah, lemarinya kosong. Dia hanya membawa pakaian dan dokumen-dokumen pribadinya. Komputer dan yang lainnya masih utuh.”

“Kasihan anak itu.”

“Kenapa kasihan? Dia menipu kita, Bu. Yang kasihan itu Jamil. Tertipu oleh sahabat sendiri yang kuanggap sebagai saudara.”

“Ibu kasihan karena dia tidak punya keberanian untuk menghadapi kita secara jantan. Sekarang duduk di situ dan makan sup ini. Mumpung masih hangat.”

Jamil manut dan sup itu langsung dia seruput.

“Aw! Ini bukan hangat tapi panas.”

Supaya aku bisa memperbaiki semua kesalahan. Supaya aku bisa memulai lembar sejarah baru. Supaya aku bisa menikmati hidup dengan cara yang lebih baik. Supaya aku bisa menjadi lelaki bertanggung jawab dan berani. Aku harus melupakan semua kegagalan ini. Tekad itu yang kini menghiasi hati Jamil. Memadamkan bara amarahnya yang terpendam begitu dalam. Namun, ia tak menyesal membiarkan ular masuk rumahnya.

Bersambung.

«

»

what do you think?

Your email address will not be published. Required fields are marked *