Cerpen Menulis Fiksi & Non-Fiksi

Sebuah Janji

Sebuah Janji

 

Diam-diam Tania mengintip siapa yang berbincang dengan ayahnya di ruang bawah pada malam itu. Kepalanya menyembul di balik pagar, tidak berani menonjolkan kepalanya lebih dari itu karena takut sang tamu menyadari pengintaiannya atau untuk mengantisipasi jika disengaja atau tidak sang tamu menengadahkan kepala ke arahnya. Jari-jemarinya yang halus menggenggam pagar kayu. Tangannya meremas pagar itu ketika tahu siapa orang yang diintainya. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih keras dari sebelumnya.

Cepat-cepat ia berpaling dan kembali ke kamarnya. Saat bersandar di balik pintu ia berusaha keras untuk tidak berpikir macam-macam. Tapi, tanpa ia sadari, tersungging juga sebentuk senyum di wajahnya.

Ah tidak mungkin. Tidak mungkin ia datang untuk dirinya, ayolah, Tania, ia bekerja untuk ayahmu. Itu cukup menegaskan keberadaannya di rumah ini semalam ini.

Ia menarik napas dalam-dalam. Lalu duduk di tempat tidurnya. Kenapa dia datang disaat yang tidak tepat? Pada momen penting dalam hidupku?

Sebelum ia mulai menambah deretan pertanyaan itu di dalam pikirannya. Seseorang memanggil namanya.

Bunda masuk ke kamar Tania tanpa menunggu aba-aba. ”Tamunya sudah datang, ayo siap-siap ke bawah.”

Tania bengong. Bunda tersenyum melihat anaknya bingung. Ia merapikan kerudung Tania, seolah belum cukup rapi.

”Bismillah,” kata bundanya sambil menarik tangan Tania menuntunnya ke ruang bawah.

Di ruang tamu duduk Pak Median, ayah Tania, dua orang anak buahnya dan beberapa orang lain yang kesemuanya laki-laki. Satu orang perempuan menyusul masuk dan duduk di sebelah seorang tamu yang umurnya tak jauh dari Pak Median, tampaknya mereka suami istri.

Dua orang perempuan menuruni tangga. Sang bunda tersenyum ke arah perempuan yang baru masuk tadi, sementara sang gadis yang dituntunnya menunduk.

Semua pandangan tertuju ke arah tangga. Menanti mereka dengan sabar untuk bergabung.

”Tania sayang, perkenalkan, ini orang tua Teguh,” ucap Pak Median.

Tania mengangguk kepada kedua orang tua yang duduk di sebelah Teguh, lalu sekilas melihat ke arah Teguh dan laki-laki yang duduk di sebelahnya. Kemudian ia menunduk lagi. Di sebelahnya, sang Bunda dapat merasakan, bunyi nafas sang gadis yang tak biasa.

Jadi?

Satu minggu kemudian, Tania memutuskan untuk segera memberikan jawaban atas lamaran Teguh, karyawan ayahnya. Setelah beberapa kali meminta pertimbangan Allah melalui istikharah. Alasannya cukup kuat, tidak ada alasan untuk menolaknya. Teguh seorang lelaki yang soleh, tidak pernah meninggalkan ibadah wajib dan rajin melaksanakan ibadah sunnah. Ia orang yang sehat, bertanggungjawab dengan pekerjaannya dan berasal dari keluarga yang baik. Apalagi yang bisa diharapkan oleh seorang muslimah selain daripada itu? Harta? Cinta?

”Yakin?” tanya ayahnya.

Tania mengangguk. ”Ya, Ayah.”

”Teguh bilang dia orang miskin, sayang. Apakah kamu akan bisa bertahan hidup dalam kondisi serba kurang?”

Tania menatap ayahnya, menebak-nebak apakah pertanyaan ini ujian ataukah kekhawatiran. ”InsyaAllah. Miskin atau kaya tidak bisa menjamin masuk surga kan?”

Pak Median tersenyum.

”Baiklah, kalau begitu, besok kita gelar akad nikahnya.”

Setelah akad, Teguh langsung memboyong Tania ke rumah orangtuanya.  Rumah yang cukup besar untuk sebuah keluarga dengan satu anak. Teguh tidak memiliki saudara kandung. Tania terkesima, ternyata Teguh tidaklah semiskin yang ia bicarakan. Setidaknya, sebuah mobil terparkir di depan rumahnya, walaupun memang tampak sudah agak tua.

Tania berharap kejutannya hanya sampai di sini. Karena lamaran lelaki ini saja sudah cukup membuatnya terkejut. Tapi, ia percaya jika memang jodohnya, tentu ia yang terbaik yang dipilihkan oleh Allah untuknya.

Tak henti-hentinya Tania mengucapkan syukur setiapkali ia melihat suaminya. Terutama mulutnya yang agak maju sedikit. Bagaimanapun, ia adalah makhluk terbaik yang insyaAllah akan menuntunnya ke jalan menuju surga yang abadi. Cita-cita hidupnya.

Sebulan, dua bulan, bahkan sampai empat tahun, Tania dapat merasakan kasih sayang yang diberikan oleh suaminya tidak pernah berubah, selalu sama, selalu istimewa. Suaminya selalu tersenyum, dalam keadaan apa pun. Walaupun sebelum menikah mereka jarang bertemu, Tania dapat merasakan bahwa Teguh adalah orang yang baik, oleh karena itulah dia memutuskan untuk menerima lamarannya. Karena lelaki ini hampir tidak memiliki cacat.

Satu hal yang agak mengganggu pikirannya. Terutama, akhir-akhir ini. Ia mendengar teman-teman semasa SMA-nya saat berkunjung membisikkan sesuatu yang tidak enak mengenai mulut suaminya tercinta. Pernah juga saat teman semasa kuliahnya, menyindir hal yang sama. Tetangganya…selama sebulan dua bulan pertama pernikahan, bahkan sampai empat tahun keberlangsungan hidupnya bersama lelaki soleh ini.

”Tania sayang,” Teguh menyapa istrinya, saat duduk-duduk di ruang keluarga di suatu sore. ”Yah,” jawab Tania yang duduk di sebelahnya tanpa menoleh.

”Temanku akan pulang dari luar negeri. Boleh tidak dia menginap di sini? Hanya sementara kok, selama dia liburan saja.”

Tania tidak berkomentar.

”Dua minggu, lalu dia akan kembali ke luar negeri dan meneruskan kuliahnya.”

”Siapa?”

”Tulus.”

Tania menatap suaminya, kedua ujungnya alisnya hampir bertemu. Seolah malu, lalu ia menunduk.

”Boleh, kan?”

Tania diam, ia tertegun.

“Tidak boleh?”

Tania mengangguk dan tersenyum.

Biasanya Teguh pasrah, dan mengalah jika Tania bersikap seperti ini. Tapi kali ini ia berusaha sedikit berargumentasi.

“Dia itu sahabatku dan aku tidak bertemu dia lagi sejak kita menikah. Apakah aku tidak boleh menjamu dia sebagai sahabat di rumahku sendiri?”

Teguh benar, pikir Tania. Apa haknya melarang? Ia tidak bisa memutuskan tali silaturahmi antara dua sahabat.

”Maaf, aku cuma ingin berduaan saja denganmu. Rasanya risih kalau ada orang lain di antara kita. Apalagi sejak ayah dan ibumu pergi.”

Kini Teguh tersenyum. ”Aku banyak berhutang pada Tulus. Terutama dalam mewujudkan rumah tangga ini.”

”Maksudmu?”

”Dialah yang mendorongku untuk berani melamarmu.” Teguh tersenyum.

Tania tidak membalas senyum itu. Ia menenggelamkan dirinya ke sandaran sofa dan mengambil nafas dalam-dalam. Seolah ada sesuatu yang ingin dikeluarkannya.

”Dia juga mengantarku saat melamarmu dan sengaja duduk di sebelahku hanya untuk membesarkan hatiku. Kalau dia tidak begitu pedulinya padaku, mungkin sampai saat ini….”

”Apakah dia akan datang bersama istri dan anak-anaknya?”

”Istri dan anak-anaknya? Dia itu masih membujang.”

”Masa sih? Kok bisa?”

”Aku juga tidak tahu. Padahal aku juga sudah berusaha menjodohkan dia dengan beberapa muslimah, hm…maksudnya mau balas budi..hehe, tapi…dia tolak terus. Entah yang bagaimana yang dia mau.”

”Hm…begitu dia datang, aku menginap di rumah ayah, ya?”

”Itu baik. Tapi, benar kamu tidak keberatan?”

Tania menggeleng. ”Lagipula aku sudah lama tidak ketemu Bunda sama Ayah. Kapan dia akan datang?”

”Mungkin satu jam lagi.”

Tania terlonjak. ”Apa?”

 

”Assalamualaikum,” teriak Tulus begitu melihat Teguh yang tengah berdiri di teras rumahnya. Rupanya tamu yang ditunggu-tunggu sudah tiba.

”Waalaikumsalam,” sambut Teguh. Kedua sahabat itu pun saling berpelukan. Lama sekali. Melepas rindu setelah bertahun-tahun. Teguh membawakan tas Tulus ke dalam, lalu ia memanggil sang istri. Tulus mengikuti titah sang empunya rumah untuk mengikutinya masuk. Rumah ini sudah seperti rumahnya sendiri. Dulu saat ia masih tinggal di kota ini, ia sering menginap di sini. Tulus dan Teguh berteman sejak sama-sama menempuh pendidikan di universitas yang sama. Walaupun berbeda jurusan, mereka sering bersama-sama dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, hingga akhirnya menjadikan mereka begitu dekat. Yang pasti mereka sama-sama memiliki mimpi dan visi yang sama. Persahabatan itu terus berlangsung sampai mereka sama-sama diterima bekerja di perusahaan penerbitan milik Pak Median. Tulus sebagai editor, Teguh sebagai manajer pemasaran.

Setelah Teguh menikah, kebetulan Tulus mendapatkan tawaran bekerja di luar negeri dan kemudian ia melanjutkan S2 di sana.

”Apa kabar?” sapa Tania, istri Teguh, menyadarkan Tulus dari lamunannya.

”Alhamdulillah, luar biasa. Tania sendiri bagaimana? Sudah punya berapa buntut kamu, Guh?” Tulus menepuk lengan Teguh.

Teguh dan Tania saling berpandangan.

Tania yang menjawab, “Mohon doanya saja.”

Tulus maklum, lalu mengalihkan topik ke hal lain. ”Kerja di mana sekarang?”

”Masih sama. Ah, sudahlah. Kamu pasti capek, istirahat dululah sebentar, nanti baru kita teruskan lagi sambil makan malam.”

Mereka berdua berlalu ke kamar tamu sambil tertawa-tawa, meninggalkan Tania sendirian. Tubuhnya lemas. Wajahnya tiba-tiba memucat. Dalam hati ia berdoa, semoga wajahnya tidak memerah.

”Saya kangen Ayah sama Ibu, belum sempat berterimakasih sama mereka.” Ucap Tulus di meja makan, tatapannya kosong.

”Ya, ayah meninggal setahun yang lalu, kemudian ibu menyusul 6 bulan kemudian.”

”Sayangnya, kami belum memberikan mereka cucu,” ujar Tania menyambung.

Teguh menitikkan air mata, Tania menyusutnya dengan tisu. Tangannya gemetar. Tulus membuang muka.

”Hm, maaf, tidak bermaksud menambah kesedihan.”

Teguh menggeleng.

”Ck, begini..besok kamu bisa mengantarku ke kampus kan? Seperti aku sudah bilang aku ada janji bertemu dengan Prof. Sofyan untuk urusan tesis. Sekalian nostalgia, hehe.”

”Pasti, aku kan sudah ambil cuti, jadi bisa membantumu  untuk mengurus ini itu selama di sini. Ya kan, sayang?”

”I-iya,” Tania gugup.

”Terima kasih, Bro, datang dari jauh aku hanya merepotkan saja.”

”Alah yang penting kamu bawa oleh-oleh kan buat kita?”

”Pasti dong.”

”Ah, bercanda kok.”

”Hm, ngomong-ngomong Tania pucat sekali, lagi sakit?”

Tania menggeleng. Teguh menempelkan tangannya di dahi sang istri. Tulus memutar matanya.

”Kenapa?” Teguh menangkap sinyal ketidaksenangan sahabatnya, ia setengah tertawa. Tania menjauhkan tangan suaminya, sebagai jawaban ia tidak apa-apa. Lalu bangkit membereskan meja.

”Hey, sampai kapan kamu akan membujang terus?”

Tulus mengangkat bahunya, ”Sampai Allah percaya, bahwa aku bukan hanya punya modal ganteng, tapi juga kesetiaan…haha..”

”Sompret! Nggak capek apa?”

”Kok capek?”

”Yah, capek membatin dan menelan ludah.”

Cukup sampai di sini Tania mengikuti pembicaraan dua lelaki ini, selanjutnya sudah pasti hanya berisi obrolan yang melibatkan mereka saja. Syukurlah. Berakhir juga. Setelah membereskan urusan dapur. Ia segera masuk kamar dan berusaha menenangkan diri. Di atas tempat tidur ia menempelkan tangan di dahinya, tidak panas kok. Ah, dia hanya menggoda saja. Tapi, itu kan tidak sopan. Tania bangkit mengambil cermin, dia ada benarnya juga. Wajahnya sedikit pucat, mungkin ini karena rasa tidak nyaman dengan adanya orang asing di rumah ini. Seandainya orang asing itu bukan dia, mungkin akan lain ceritanya.

Tania gelisah terus, apakah dia benar-benar sakit. Teguh merasa khawatir. Berkali-kali ia menempelkan tangannya di dahi Tania untuk mengecek suhu tubuhnya, tapi berkali-kali juga Tania menghempaskannya.

”Aku baik-baik saja.”

Teguh bangkit dan duduk di samping istrinya yang tetap terbaring. ”Apakah kamu benar-benar tidak apa-apa?”

”Iya, suamiku yang cerewet. Sudah, tidurlah.”

“Maksudku, kamu tidak apa-apa ada Tulus di sini?”

Tania ragu harus menjawab apa lagi untuk meyakinkannya. Setidaknya ia sudah berusaha untuk meredam apa pun yang kini timbul di pikirannya dan juga…hatinya. Walaupun tampaknya Teguh tahu ia tidak berhasil.

Untunglah dua minggu telah berlalu. Meskipun Teguh merasa tidak enak karena istrinya terpaksa harus mengungsi. Tapi, itu hal terbaik demi menghindari fitnah. Apa pun bisa terjadi. Kesadaran istrinya akan hal itulah yang justru membuatnya semakin menyayanginya.

”Yayang.”

”Aduh, sudah kubilang berkali-kali jangan bilang Yayang, geli.”

”Iya, maaf. Hm..kamu nggak usah khawatirkan soal anak, selama kamu bahagia hidup denganku, aku juga bahagia. Masalah anak adalah masalah waktu.”

Tania tertegun. Apakah aku bahagia? ”Bahagia itu adalah bersyukur.”

”Iyah, kamu sering berkata begitu.”

”Aku bersyukur karena punya suami yang penyayang seperti kamu.”

”Benar?”

Tania tertegun. Apakah ini pertanyaan ujian atau memang ingin menggodaku saja?

Akhirnya Tania hanya mengangguk.

”Nggak menyesal, kan?”

”Aduuuh…iya nggak.”

”Iya atau nggak.”

”Ah pusing ah.”

”Aku serius.”

”Aku juga.”

”Aku mau kamu berjanji.”

”Apa?”

”Kalau aku pergi nanti, kamu janji yah kamu menikah lagi.”

”Astaghfirullah, kok ngomong begitu sih. Memangnya kamu mau pergi ke mana?”

”Yah, umur kan hanya Allah yang tahu. Cuma, seandainya aku dipanggil lebih dulu.”

”Ssst jangan ngomongin itu dong,” Tania sesegruk menangis.

”Maaf, aku salah ngomong ya?”

Tania tidak pernah menyangka bahwa itu adalah firasat. Entah kenapa omongan seorang manusia bisa begitu instan, seolah itu adalah doa yang segera dikabulkan.

***

 

Telepon berdering, Tania mengangkatnya. Di seberang sana mengabarkan Teguh mengalami kecelakaan, Tania diminta segera ke rumah sakit.

Di pemakaman, Tania mengucapkan janji yang seminggu lalu diminta oleh Teguh dan belum sempat ia jawab. ”Aku berjanji.” Tiba-tiba bumi bergoyang, kepala Tania berputar-putar, ototnya terlalu lemah untuk menopang tubuhnya agar tetap berdiri. Tania jatuh pingsan.

Perlahan Tania membuka matanya, kepalanya masih pusing. Ia mendengar suara bundanya dan ayahnya. Mereka ada di sisinya.

”Selamat ya, Bu dan Bapak.” Punggung berjubah putih menuju pintu keluar ketika Tania menemukan sumber suara itu. Lalu, ia menoleh pada bunda yang ada di sampingnya. Bunda menyentuh kening Tania, dan mengelus-elus tangannya. “Bunda akan punya cucu.”

“Apa?” Seketika Tania bangkit. ”Ini masih 2009 kan?”

Bunda dan Ayah saling berpandangan. ”Iya,” jawab Ayah.

”Oh, Teguh pasti senang sekali. Dia kok nggak ada?”

Bunda memeluk Tania erat, sambil berharap anaknya masih waras. ”Ikhlaskan, Nak, dia sudah tidak ada.” Tania terdiam, dan setetes air mata meluncur dari ujung matanya. Ayah mengelus-elus tangannya. ”Sabar.”

Satu setengah tahun. Jabang bayi itu sudah terlahir. Ia sudah bisa berlari-lari sambil meneriakkan, Bunda! Tapi, kosakatanya tak lengkap, karena sang bunda bingung cara mengajarkan kata ayah, papa atau pun bapak. Maka siang itu ia mengajak si bayi mengunjungi ayahnya.

Dari kejauhan Tania bisa melihat ada seorang lelaki di samping pusara suaminya. Iya tampak khusyuk berdoa, membersihkan kubur dari tanaman liar. Ia tahu pasti siapa lelaki itu. Rasa bersalah pun menyeruak.

”Kamu sudah pulang? Maaf saya tidak sempat memberi kabar…”

”Assalamualaikum.”

”Eh…waalaikumsalam, maaf. Saya tidak menyangka kamu bisa ada di sini.”

”Saya dapat kabar dari Prof. Sofyan. Maaf, waktu itu tidak bisa langsung hadir di sini.” Tulus, lelaki itu, memandangi anak di pangkuan Tania. Begitu lekat. Ada yang ingin dikatakannya…tapi ia tampak ragu.

”Hm…ini anak…?”

”Teguh tentunya.”

”Oh, alhamdulillah.” Katanya, tampak lega. Tapi, kelegaannya seolah hilang begitu ia melihat kembali pusara. ”Anakmu datang menengok. Siapa namanya?”

”Khanza. Jadi sewaktu kamu datang dulu, rupanya aku sudah hamil satu bulan.”

”Oh, mungkin itu sebabnya kamu pucat dan sebagainya…”

”Dan sebagainya…”

Ponsel Tulus berdering, ia tidak mengangkatnya, hanya melihat lalu mematikannya.

”Maaf, saya harus pergi. Assalamualaikum.”

”Tunggu,” entah apa yang tiba-tiba mendorong. Tulus berbalik, ”Ya?”

”Hati-hati di jalan. Wassalamualaikum.”

***

Sebuah janji. Ia teringat sebuah janjinya terhadap Teguh. Tapi, ah sudahlah. Kalau memang Allah menghendaki, maka itu pasti terjadi.

Tania mengintip. Jantungnya berdetak kencang, ketika tahu siapa yang berkunjung ke rumahnya. Ia menutup mata, berusaha meyakinkan dirinya bahwa kedatangan lelaki itu adalah semata-mata untuk bersilaturahmi dengan mantan bosnya. Tidak peduli itu malam atau siang.

”Tania.”

Suara bundanya memecahkan konsentrasinya. ”Tulus sudah datang.”

”Iya, saya tahu.”

”Ayo.” Bundanya menarik lengannya.

”Lho, dia kan tamunya ayah. Kenapa aku harus turun ke bawah?”

”Karena dialah yang akan melamarmu malam ini.”

Tania terkesima. Tanpa pikir panjang ia mengikuti titah bundanya, turun menemui Tulus.

 

Ditulis: 31/10/2009

«

»

what do you think?

Your email address will not be published. Required fields are marked *