Tanah Para Raja
Susah payah aku capai puncak ini. Kali ini aku akan menuntutnya kalau dia berbohong. Taruhanku tidak satu nyawa. Tapi dua. Yah, dengan bangga kukatakan sejak 18 bulan yang lalu ada jantung yang berdenyut di dalam perutku.
Aku tak ingin mengulangi kesalahan dua kali berturut-turut. Kemarin itu parah sekali. Aku telah mengungkapkan pendapat konyol di depan puluhan pemimpin. Benar data Dares, guruku –boleh kan aku memanggilnya begitu, soalnya dia yang mengajariku cara membuat bantal yang enak untuk ibu hamil- kalau kamu ingin berbicara diamlah. Sekuat apa pun godaan itu. Karena katanya apa yang diucapkan itu mengandung nafsu. Ternyata benar. Aku sungguh malu.
Dia justru menyuruhku bicara disaat aku tidak mau. Awalnya kupikir dia itu aneh.
Sekarang aku kembali lagi ke sini untuk kedua kalinya. Tartas memberiku dukungan untuk melakukan ini. Walaupun aku heran kenapa ia mau membantuku. Bukankah ia begitu benci padaku karena Bagiro tak mau dekat-dekat dengannya. Oh, kekasihku apa yang terjadi padamu?
Seandainya Dares tahu hal ini, pasti dia akan membenciku. Bahkan mungkin –karena perbuatanku ini sudah keterlaluan- aku akan diacuhkan, atau akan membiarkanku dikirim ke sekolah khusus di Lampung.
Berulangkali Dares mengingatkan semuanya betapa berbahaya area ini, dan karenanya harus dijauhi. Namun siapa yang peduli kalau ini tempat terbaik untuk mengawasi keadaan dan mungkin dari sini aku tahu keberadaan kekasihku?
Aku Pilipati, mana bisa membiarkan rumor yang begitu menyakitkan telinga beredar di kawanan srikandi? Aku harus mencari bukti bahwa Bagiro tidak pernah kabur atau sengaja membela musuh. Tidak pernah ada dalam sejarah kerajaan hutan ini hal semacam itu. Kematiannya lebih kubanggakan daripada dia hidup dengan celaan. Toh aku harus mempunyai bahan dongeng yang bagus untuk anakku kelak.
Aku tidak tahan hanya berdiri saja di sini. Sebaiknya aku berpura-pura cari makan, supaya ada alasan seandainya salah satu dari kawananku memergoki. Aku raih dedaunan terdekat dengan ogah. Sambil berharap ada sesuatu yang akan kudengar malam ini.
Setidaknya aku ingin meyakinkan diriku dia hanya tersesat, bingung mencari jalan. Walaupun dia sangat cerdas, tapi jalanan kini telah berubah. Pohon-pohon sudah hilang. Tanaman-tanaman rusak. Lahan-lahan yang biasa kami jelajah menjadi botak di mana-mana. Gara-gara mereka, musuh kami, kehidupan kami jadi kacau balau begini. Setiap hari harus waspada, kalau-kalau ada perang. Bahkan untuk tidur siang sekejap pun kami jarang merasa nyaman. Tanah kami begitu bising oleh suara mesin-mesin. Aku tak pernah mengerti jalan pikiran mereka. Berani-beraninya mereka menginjakkan kaki mereka yang mungil itu di atas tanah kami.
Bagiroku dan aku generasi muda yang masih tersisa. Yang paling aku suka darinya dia tidak mau tidur dengan betina yang lain. Mungkin karena mereka sudah terlalu tua? Memang itu agak aneh. Tapi apa mau dikata, kalau itu sudah keinginannya. Menurut Dares pun Bagiro memang aneh. Dia terlalu sering menemuiku. Seolah dia tidak punya kehidupan sendiri. Padahal selayaknya dia tidak terikat denganku. Kadang aku berpikir mungkin ini akibat dari peperangan selama ini. Kehidupan kami jadi tidak seimbang.
Banyak jantan yang mati. Mereka pun tak segan-segan membunuh bayi-bayi yang belum mampu melawan. Entah itu diracun, entah itu ditembak. Yang membuat hatiku teriris, kami bahkan tak dapat mengambil sebagian mayat saudara kami. Karena mereka menjaganya begitu ketat. Belakangan aku tahu bahwa yang mereka incar hanya satu hal. Betapa biadabnya mereka.
Tidak hanya luka yang tertoreh di tubuh kami, tapi cacat permanen dalam hubungan antar makhluk. Dulu kami memang bersahabat dengan mereka. Tidak pernah sekalipun terpikir mereka akhirnya akan menjajah tanah ini.
Bagiro dikabarkan menghilang setelah pertempuran besar empat bulan lalu. Namun entah dari mana mulanya, muncul isu yang menyudutkan dia. Ada yang berkata dia ditawan, ada yang berkata dia melarikan diri, ada juga yang berkata dia disekolahkan ke Lampung. Aku, betina hamil yang tak pernah meninggalkan kawananku ini, bagaimana bisa tahu yang mana yang benar.
Kecuali dua malam ini. Aku memberanikan diri terpisah dan berdiri di sini untuk mengintai. Benar-benar berbahaya. Tapi Tartas, betina yang paling ngotot ingin Bagiro menjadi kekasihnya, sangat mendukungku. Kukira dia tak mungkin mencelakakanku bukan? Dia saudara tertuaku. Kalau tidak salah ayah kami sama, Mengkulai namanya. Sejak setahun aku tak pernah melihatnya lagi. Mungkin dia sudah gugur di suatu pertempuran.
Aku mengendus tanah. Tartas dan yang lainnya kini berada tiga kilometer dariku. Syukurlah mereka tidak sadar aku tertinggal.
Menurut Tartas para penjaga akan bersiap di bawah sana semalam penuh. Mereka benar-benar bernafsu membunuhi kami. Memang situasi jadi makin tegang sejak kami melakukan perlawanan, merusak rumah dan perkebunan mereka. Bahkan tak terhindarkan kami pun membalas membunuh.
Tentu saja aku tidak takut. Karena aku yakin, pejuang sejati akan berhati-hati melakukan gerakan. Mungkin, itulah kata Tartas, mungkin aku bisa melihat gerakan-gerakan Bagiro dari sini. Karena ini puncak tertinggi di belantara ini. Katanya, ia selalu salut dengan penglihatanku yang tajam. Seharusnya aku dijadikan penyelidik. Ia sempat memaki Kikecut, jantan yang kerap memimpin dalam rapat-rapat rahasia pada tengah malam. Kikecut telah melakukan kesalahan super bodoh tidak pernah mengikutsertakan aku sebagai tim. Begitu katanya.
Sekitar lima puluh langkah di depanku ada lima orang bersenjata sedang mengobrol.
Oh Tuhan aku tak tahu apa yang kulakukan. Benar-benar buta, dan hatiku agak was-was. Apakah mungkin aku tak kan sempat melahirkan Bagiro kecil? Mungkinkah para penjaga itu menggencarkan pengamanan malam ini akibat serangan kami kemarin siang? Yang penting apakah setelah aku menemukannya aku akan tetap bisa berjuang di sini. Tuhan, Kikecut dan Dares telah lama melarangku mendekati Bagiro. Dalam hati kecilku aku tidak suka itu. Karena bagaimana pun Bagiro sudah dewasa, apa pun yang dilakukannya tak pantas dicampuri oleh yang lain. Itu haknya. Hasilnya malah sekarang telingaku digempur cibiran pedas dari para betina. Seolah tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari kekasihku. Tak berarti lagi predikat yang melekat padanya; pelari cepat, gading terkuat, dan tubuh tergagah. Percuma saja bila memang benar apa yang mereka tuduhkan itu.
Kata Dares –oh betina yang anggun itu- sebaiknya aku mengikuti perkataan mereka. Sayangnya saat ini yang kubutuhkan bukan kebijaksanaan tapi kepastian. Namanya kotor dan aku pun baru saja mengotori namaku. Hanya Bagiro yang bisa memberiku penjelasan terpercaya.
Apakah aku ini terlalu bodoh, sampai Tartas harus mengajariku cara mempertahankan diri? Dia pikir aku tidak sekuat dulu? Kapan pun aku akan selalu siap untuk ikut bertempur. Dengan tegas dan berani aku katakan itu di hadapan Kikecut dan pemimpin dari kawanan lain. Aku sendiri terkejut dengan nada suaraku yang lantang. Seketika aku merasa hanya badanku saja yang bongsor, tapi otakku hanya sebesar otak lalat.
Kemarin itu benar-benar parah. Semoga seumur hidup aku tak pernah lagi mengulanginya.
Mengapa aku membuka mulut yang penuh dengan gelombang-gelombang kosong? Jelas persepsiku salah. Aku dapat membacanya dari gerak-gerik tubuh mereka dan bisikan-bisikan. Aku tahu itu walaupun mereka tak berterusterang. Aku telah berbuat kesalahan.
Dares, hanya dia yang tak pernah salah mengerti perkataanku. Tapi ya Tuhan yang kemarin itu benar-benar kekacauan. Menjadi pengkhianat memang tidak mungkin. Tapi mengacaukan strategi sangat membahayakan. Katanya begitulah cara Bagiro berakhir. Sehingga ia pantas dirutuki dengan kematian yang menyakitkan tanpa hormat. Aku sungguh tidak rela.
Aku sudah berdiri di sini. Ini keputusanku. Tak mungkin lagi mundur. Demi terungkapnya kebenaran. Kalau memang Bagiro bersalah, aku yang pertama merutukinya. Aku yang pertama membencinya. Jika dia tidak bersalah, harus dibuktikan pada semuanya. Bagaimana pun juga aku tidak pernah menyukai pengkhianatan dan kemunduran.
Bosan rasanya menunggu begini. Aku sudah tak dapat mencium bau Tartas dan kawananku. Mereka benar-benar sudah jauh sekarang. Mungkin sudah tertidur. ‘Jadi..,’ napasku terhempas hampa di udara, ‘jadi!’ teriakku dalam hati. Berusaha tidak menarik perhatian para penjaga. ‘Bagaimana sekarang?’ sejak tadi aku tak melihat apa-apa selain para penjaga dan gerak ranting yang tertiup angin.
Kembalilah, bisik suara parau yang ternyata keluar dari mulutku. Mengagetkan diriku sendiri, sampai tubuhku oleng dan sebelah kakiku memijak bumi begitu kuat sampai kerikil-kerikil tanah berhamburan ke bawah. Aku menguap. Rupanya sudah waktunya tidur. Tubuhku oleng lagi membuat pohon berderak.
“Eh di sebelah sana! Ada suara,” ucap salah satu penjaga. Yang lainnya meletupkan senapan.
Persendianku menjadi kaku, seluruh darahku seolah berhenti mengalir. Namun nyawaku masih tertinggal di leher.
“Hei, jangan! Nanti dia kabur,” cegah yang lain.
Inilah saatnya aku mempraktekkan strategi membeku. Diam dan menyaru jadi tanaman. Begitu mereka pergi aku akan segera pulang.
Dua lelaki menyibakkan dedaunan. Dua lainnya membabi buta berseru-seruan. Seandainya mereka tahu aku sendirian pasti aku sudah dihajar. Lalu aku mati tanpa dikenang. Menjadi biasa dan fosil.
Suara gemuruh tiba-tiba membahana. Aku mengenali bau yang semakin mendekat ini. Kulihat para penjaga itu masih asyik dengan pencariannya. Mereka tidak menyadari ada pasukan yang akan melibas mereka. Adrenalinku terpacu. Aku tahu ini mengerikan tapi kalau ini kesempatanku yang terakhir, tidak boleh berlalu begitu saja.
Tanah bergetar, berdebam-debam. Seolah raja-raja kami bangkit dari kubur. Berontak demi mengenyahkan ketidakadilan ini.
Dari sisi kananku sekitar 30 jantan bermunculan. Gading-gading mereka tajam mengilat, haus akan cabikan. Belalai mereka meluncurkan seruan-seruan perang. Spontan para penjaga berlarian panik. Beberapa meletupkan senjatanya ke udara mengabarkan penyerangan mendadak kepada kaumnya.
Dum! Dum! Peluru-peluru meluncur, namun meleset. Aku segera keluar dari persembunyianku. Kusambut panggilan bertempur ini dengan lariku yang kencang. Tak mempedulikan gajah-gajah itu sekawanan denganku atau pun tidak.
Mungkin Tartas akan tertawa bila tahu aku terjebak dalam pertempuran ini. Tapi dia tak pernah tahu ini yang kuidamkan.
Mereka melaju kencang menuju pemukiman warga. Beberapa menyenggol para penjaga yang berlarian, atau melemparkan tubuhnya ke pepohonan.
Satu gajah yang terbesar, tampaknya pemimpin mereka, meraung sekencang-kencangnya.
“Ini tanah leluhur kami! Kami raja di hutan ini. Ini rumah kamiii! Ayo kita rebut kembali!”
Sepertinya aku mengenali suara itu. Tapi aku tak sempat berpikir, sebuah belalai melecutku lembut, menyuruhku pergi.
“Aku tidak mau pergi!”
“Kamu sedang hamil! Harus jaga diri sampai dia lahir!”
“Bagaimana kau tahu?”
“Pili! Aku ayahmu, aku tahu itu dengan pasti dari ayah bayi itu.”
“A-apa? Mengkulai?”
Di depan kami mucul puluhan kerlip api. Mereka menyambut kami dengan meriah rupanya. Senjata mereka berdentum-dentum. Teriakan-teriakan mereka tak kalah kerasnya.
“Cepat pergi!” Mengkulai masih memaksaku.
“Tidak! Aku adalah keturunan para raja yang berani bertempur!”
Konsentrasi Mengkulai beralih pada manusia yang menghadangnya.
Aku berlari ke sana ke mari. Aku lilit tubuh yang bisa kuraih dan kulemparkan ke tanah. Aku tampar wajah mereka. Aku kirim mereka ke langit. Aku sembur mereka dengan kebencian. Aku tendang mereka kembali ke belakang. Aku injak mereka, rata dengan bumi. Entah itu bisa menebus segala tangis kami, kelaparan kami, kehausan kami, ketidaknyamanan kami. Entah itu bisa mengembalikan semua yang telah hilang. Atau sekadar menghentikan perseteruan.
Tiga puluh manusia telah jatuh. Kebanyakan mereka dibunuh oleh gajah yang bertubuh paling besar. Aku tersenyum padanya tapi ia terlalu berkonsentrasi dengan tugasnya.
Berdiri tegak bersama para jantan, demi keseimbangan dan kenyamanan. Malam ini, ini tujuanku. Memberantas ketidakadilan. Mahal memang, nyawa taruhannya. Dari seluruh gajah yang berpartisipasi kini tinggal setengahnya yang masih bertahan. Musuh kami telah memiliki senjata yang lebih canggih, yang mampu melumpuhkan kami dalam satu tembakan.
Selongsong peluru melesat di ketinggian, menarik perhatianku. Jantung para pejantan tangguh menjadi sasarannya. Aku menubruk salah satu pejantan yang sedang asyik menendang musuh. Peluru itu pun bersarang di perutku. Aku meraung.
“Pilipati! Kenapa kamu ada di sini?” Jantan yang kutubruk itu terkejut namun menjadi murka, begitu mengenali wajahku.
Aku tersenyum senang melihatnya, bercampur malu. “Kikecut! Ternyata kau! Aku, aku melihat Bagiro. Dia tidak berkhianat bukan? Dia belum mati!”
“Pili, kamu terluka!”
Aku melihat perutku, darah bercucuran. Jangan sekarang, jangan sekarang. Aku masih bisa berdiri. Aku mohon. “Kau tidak bisa melakukannya Pili,” kata Kikecut.
Percikan api dari meriam melesat ke atas dan jatuh membakar beberapa jantan.
Pasukan gajah tinggal berlima.
“Aku ingin bertemu Bagiro!” Aku berpaling dari Kikecut yang terbengong-bengong menuju kekasihku. Aku harus menghampirinya untuk sebuah kepastian. Rindu ini melambung tinggi, namun hasrat mengungkap kebenaran lebih membuatku bersemangat.
Kudekati jantan paling gagah di lini depan. Ia sedang bergulat dengan tiga orang, mengibaskan belalai dengan teriakan khasnya menyemangati pejuang yang masih tersisa. Tidak terucap satu pun kata mundur. Aku berlari ke arahnya walaupun mataku mulai berkunang-kunang. Aku hampir mencapai posisinya seandainya tidak ada manusia yang menjegal langkahku. Tubuhku menghantam tanah, suara berdebam membuat Bagiro menoleh ke arahku. “Bagi! Ini aku Pili!” teriakku.
Ia menatapku tak percaya. “Pili sayang, kenapa kamu ada di sini?”
“Aku ingin bertemu denganmu. Maksudku aku bangga padamu.” Kepalaku terasa pusing, gerak bibirku jadi tidak terkontrol. Ayo, Pili, katakan sekarang. “Ini berbahaya. Cepat lari!”
“Apa?! Bagaimana kau bisa menyuruhku lari? Apa, apa itu berarti mereka benar?”
“Apa maksudmu?”
“Kau lari dari pertempuran dan bersembunyi? Kau mengacaukan strategi dan berpihak pada musuh?”
Bagiro melotot. Sekilas tampak kemarahannya. Namun akhirnya senyumnya terkembang. “Pili, Pili, kamu selalu saja begitu. Terlalu memperhatikan perkataan yang lain. Tentu saja aku tidak begitu. Aku masuk tim khusus. Kau tahu apa artinya itu?”
“Benarkah?” Kekasihku tersenyum. Aku pun menjadi lega. Tiba-tiba belalainya menepis punggungku. Seorang manusia melempariku dengan batu. Ia pun kembali ke medan laga. Aku berusaha bangkit tapi badanku benar-benar lemah. Deru peluru dan seruan-seruan bersahut-sahutan. Memekakkan telinga. Perutku terasa nyeri. Aku meraung. Aku ingin sekali bangkit dan melawan mereka.
Situasi semakin gaduh, berkali-kali bunyi tubuh berdebam menghantam tanah. Beberapa detik kemudian aku melihat tubuh Bagi tumbang setelah diberodong peluru. Wajahnya yang berlumur darah tepat di depanku. Sementara aku makin melemah, menatap bibirnya yang terkembang dalam tidur panjang.
Manusia menyatakan perang telah usai. Namun perseteruan ini akan tetap berlangsung. Ketika mentari terbangun, dengan sedih ia meratapi kami, mendapati gading-gading para jantan telah terlepas dari tubuh. Menyisakan jejak kotor di tanah para raja kami.