Esai

Bung Tomo, Anggota DPR Yang Berani

Tokoh politik mana yang setiap pidatonya dapat membakar semangat juang? Soekarno? Mungkin saja. Tetapi yang akan saya bicarakan ini adalah seorang tokoh yang lain. Ia pemuda yang berani menegakkan kebenaran dengan segala kemampuannya secara konsisten. Hingga akhir hayat, ia tetap memegang teguh prinsip dan cita-cita yang diperjuangkan sejak negara ini belum merdeka. Dialah pejuang kemerdekaan dari Surabaya, Sutomo alias Bung Tomo.COVER BUKU BUNG TOMO MENGGUGAT

Bukan hanya lidah beliau yang tajam, penanya senantiasa menyerukan pemikirannya dengan tegas, baik melalui jalur personal (surat) atau pun jalur umum (media massa). Keberaniannya mengkritik pemimpin negara bahkan pemimpin tingkat internasional, membuatnya menjadi sasaran penangkapan. Terutama pada era Orde Baru.
Surat terbuka kepada Dwight D. Eisenhower yang ditulis tahun 1955, menjadi pembuka dalam buku yang diterbitkan oleh Visimedia pada awal tahun 2008, ‘Bung Tomo Menggugat’, sebuah kumpulan tulisan Bung Tomo sejak 1955 sampai 1980.
Melalui surat-surat beliau kepada Soekarno, Soeharto dan tokoh-tokoh lain, Sutomo berusaha meluruskan arah negara yang menurutnya mulai melenceng dari cita-cita kemerdekaan. Kegeramannya terhadap perilaku para penguasa yang lebih mendahulukan bahkan mengutamakan kepentingan pribadi, mendorong murid Jenderal Soedirman ini untuk berjuang melalui tulisannya yang diterbitkan di media massa.
Secara langsung ia mengemukakan pemikirannya dengan lugas, tegas dan jujur tanpa basa-basi busuk, tetapi tetap sopan dan berwibawa. Tanpa takut ia meminta kepada presiden untuk mengadili elit politik yang korupsi, dan tidak mengemban amanah. Isi dalam surat-suratnya itu tidak sekadar mengungkapkan fakta kebobrokan pemerintahan era Orde Lama dan Orde Baru, melainkan ia pun mengajukan hasil pemikirannya sebagai solusi untuk permasalahan tersebut.
Dalam buku ini, Anda dapat menemukan fakta sejarah dari sudut pandang seorang pelaku yang menuturkannya dalam serangkaian pemikiran yang subjektif dan objektif. Misalnya, beliau tidak hanya mengungkapkan kelebihan-kelebihan Soekarno, tetapi juga kelemahan-kelemahannya yang akhirnya meruntuhkan wibawa sekaligus kekuasaannya. Inilah salah satu hal dari buku ini yang dapat dipetik sebagai pelajaran bagi generasi muda masa kini.
Mengenai Soekarno, ia menyoroti masalah kepemimpinannya yang diktator, kedekatannya dengan PKI, kabinet Ali-Roem, pengembalian Irian Barat dan kelemahannya akan wanita. Sedangkan Soeharto mendapat sorotan dalam hal-hal sebagai berikut; makin merebaknya maksiat di kalangan elit pemerintahan dan ekonomi yang ‘pilih kasih’, sang presiden menganakemaskan para pendatang dari Tionghoa, yang disebut oleh Bung Tomo sebagai cukong Cina.
Seandainya saat ini kita memiliki Bung Tomo-Bung Tomo yang duduk di kursi DPR dan DPRD, yang senantiasa teguh terdahap pendirian dan cita-cita bangsa, yang berani meluruskan yang bengkok (bukan membenarkan yang salah) dengan tegas dan berwibawa, tentulah bisa dijamin kemakmuran bangsa yang merata akan segera tercapai.
Setelah membaca buku ini, secara pribadi saya tersadar akan pentingnya konsistensi perjuangan, seperti konsistennya Jenderal Soedirman yang memberi petuah kepada Bung Tomo untuk berhati-hati terhadap tahta, harta, dan wanita.
Bung Tomo lahir di Surabaya pada tanggal 3 Oktober 1920 dan meninggal saat melaksanakan wukuf di Padang Arafah pada tanggal 7 Oktober 1981.
Sebagai penutup, saya ingin mengulas sedikit mengenai cetakan buku ini. Terdapat banyak kesalahan pengetikan. Nampaknya penerbit ingin mempertahankan naskah sebagaimana aslinya, hanya penulisan ejaan disesuaikan dengan ejaan sekarang. Mungkin ini dimaksudkan supaya tidak membingungkan pembaca. Sayangnya, ada beberapa naskah yang terasa menggantung. Menurut keterangan editor, hal ini disebabkan lanjutan naskah tidak ditemukan atau hilang.

«

»

what do you think?

Your email address will not be published. Required fields are marked *