Wajah Jutek
Izel duduk di sudut tembok. Tidak ada cermin di tangannya. Satu per satu tetes air mata ia sapu dengan ujung jari telunjuk, perlahan dan lembut. Ia tidak ingin dirinya sakit sebagaimana ia tidak ingin menyakiti orang lain. Sebuah kebahagiaan adalah hati yang dipenuhi rasa syukur. Kebahagiaan tumbuh saat seseorang berhasil membuat orang lain bahagia. Begitu kata ibunya. Namun menjadi orang yang bersyukur itu sangat sulit. Terutama jika orang di sekitar tidak mendukung. Orang-orang yang kita cintai justru mempertanyakan,
“Kenapa kamu begitu?”
Di sudut kelas ia biasa menempatkan diri. Wajahnya terlalu banyak berbicara sehingga mulutnya kelu tak mampu menjadi orator yang baik. Tidak heran gadis remaja itu selalu mengurung diri di kamarnya. Setelah pulang sekolah ia tak pernah ke mana-mana. Karena ia takut keberadaannya di hadapan orang-orang akan membuat mereka tersakiti. Seringkali ia mendapatkan penafsiran yang salah dari perkataannya. Seolah ia tak dapat berniat baik sedikit pun. Sehingga apa yang ia ucapkan hampir selalu salah. Untung saja ia tak berpikir untuk mengakhiri semuanya dengan keputusan angkuh, bunuh diri. Itu tiket gratis menuju neraka. One way ticket to hell.
Sebuah cermin kini ada dalam genggamannya. Seseorang sedang menatapnya. Ia pun membalas tatapan itu. Ia coba tersenyum. Tapi wajah di dalam cermin membalasnya dengan sinis. Kerut di keningnya seperti pisau yang baru diasah. Perih ia melihatnya. Untuk ke sekian kalinya ia memohon agar wajah itu mau sedikit saja bersikap baik padanya. Namun ia selalu saja menantang. Pantas saja ia dikenal sebagai ‘Si Jutek’. Lima jam sehari ia berlatih dengan wajah itu. Sampai satu tahun lamanya, wajah itu tetap seperti sedia kala. Tak ada kemajuan. Izel lelah. Cermin meluncur jatuh dari tangannya bersamaan dengan tetes air mata yang kesekianribu. “Aku pikir aku akan berhasil,” bisik hatinya. Cermin menimpa lantai sampai remuk. Suara pecahannya sama nyaringnya dengan jeritan hatinya. “Maafkan akuuu!” Bila sudah berhenti suara-suara itu, biasanya ia basuh diri dan jiwanya dengan wudlu dan doa. Lalu ia bersemayam di balik selimut sambil berharap esok akan menjadi lebih berarti. Semua orang memiliki kelemahan dan kekurangan. Namun setiap kelemahan dan kekurangan itu memiliki hikmah. Bahkan sebagian orang bisa menjadikan kelemahan dan kekurangan dari Tuhan itu menjadi kelebihan tersendiri. Sempat Reina berkelakar, “Kamu cocok jadi pemeran antagonis, Zel. Actingmu akan benar-benar meyakinkan.” Kalimat yang sangat sederhana namun sarat makna. Yang benar saja, Reina!
Izel tak menutupi diri, ia sadari semua kekurangannya. Ia pun mencoba untuk menjadi orang yang bersyukur dengan menyebut wajahnya sebagai anugerah Allah. Ia selalu berpikir, tentu wajah ini lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Akan tetapi ketakutan kerap menghantui. Benarkah Tuhan Mahaadil? Pertanyaan konyol ini timbul tenggelam di dalam hatinya. Berulangkali ia menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan tegas, TENTU SAJA!
Kalau wajah ini begini jahat, sampai orang-orang yang melihatnya menjadi terluka, kalau kelemahan ini begini menyiksa, kalau hal ini mengecewakan orang banyak… Pemikiran-pemikiran seperti ini kerap menyerangnya bertubi-tubi. Justru membuatnya semakin lemah dan membuat wajahnya semakin tampak buruk.
“Aku tak mau begini!”
Saat suasana hatinya membaik, ia coba untuk mempratikkan hasil latihannya semalam. Ia mencoba lebih banyak tersenyum, bahkan di saat tidak perlu. Tapi tidak berhasil. Dari dulu ia tidak suka dengan hal yang dibuat-buat. Ia merasa kaku dan aneh. Sempat terpikir barangkali ia harus selalu membawa cermin agar ia benar-benar bisa mengontrol wajahnya. Haha…konyol sekali. Lebih konyol lagi ia sedang mengumpulkan uang untuk operasi plastik. Putus asa. Izel sudah mencapai titik itu sekarang.
Saran-saran dari tantenya, kawannya, sahabatnya bahkan adiknya setiapkali terngiang kembali di benaknya berubah seperti raungan serigala yang siap menyantapnya bulat-bulat. Pandangan-pandangan yang penuh arti telah terekam di otaknya, membuatnya semakin tidak berdaya. Ya Allah maafkan aku. Pada akhirnya hanya kata maaf yang dapat terucap.
Walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sudah berbusa bibir Izel terus-menerus menjelaskan bahwa ia sebenarnya tidak bermaksud begitu. Gara-gara mimik wajahnya yang selalu salah dalam berekspresi, tidak pernah sesuai dengan nada ucapannya, kehidupannya sebagai remaja menjadi rusak. Semakin ia menjelaskan semakin orang tidak menangkap maksudnya. Berpikir disangka sedih. Bertanya disangka menuding. Merespon disangka marah. Berkomentar disangka mencela. Bahkan tertawa dikira melecehkan. Tersenyum dianggap sinis. Berat sekali beban gadis itu. Pasti ia tak punya banyak teman. Karena itu ia memilih menghabiskan harinya di sudut kamar meratapi nasibnya di depan cermin.
Sayangnya ia bukan ibu tiri putri salju. Ia tak bisa berbicara pada cermin itu dan meminta penilaiannya. Andai ia bisa mengungkapkan, ingin ia sampaikan,
“Jangan protes padaku, sama Allah sana! Dia yang menciptakan aku!”
Ibu mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam kamar anaknya tersayang. Ia mengelus rambut Izel lembut dan menyodorkan sehelai tisue. Izel menatap ibunya, kemudian cepat-cepat menunduk. Sudah dapat dipastikan pikirannya akan berbuat nakal lagi. Ibu sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Sebenarnya tidak ada yang bersalah. Bukan karena ibu begitu terkenal sebagai orang yang ramah dan manis tutur katanya. Bukan karena ibu begitu cantik dan pandai bergaul. Bukan karena siapa-siapa. Tapi karena Allah. Ini adalah tugas dari-Nya untuk memiliki wajah yang unik, berbeda dari yang lain. Kehadiran ibu cukup membuatnya yakin sudut kamar bukan tempat yang baik untuk berpikir. Apalagi dengan menggenggam sebuah cermin yang setiap hari selalu baru. Meskipun hanya sesaat. Untuk kesekian kalinya ibu berusaha melepaskan cermin itu dari tangan anaknya.
“Nak cermin ini tidak berguna sama sekali.”
Izel mendongak. Ibu memegang erat ujung cermin sampai Izel benar-benar melepaskannya. Lalu ibu melemparnya ke lantai. Serpihan kaca tersebar ke seluruh ruangan.
“Lihat! Cermin itu begitu rapuh, Nak.”
Ibu berlutut, tangannya meraih sebuah serpihan kaca.
“Pecahannya hanya memberikan bahaya bagimu.”
Ibu menggenggam pergelangan tangan Izel dan menukikkan pecahan kaca ke arahnya. Cepat-cepat ia berontak. Namun Izel tak mampu menghindar dari tatapan maut itu.
“Inikah yang akan memberimu kebahagiaan?”
Ibu menggeleng-geleng. Matanya menatap tajam kedua mata anaknya, dalam sekali. Ia terus menatapnya sampai terkuak tabir di balik kedua mata itu dan menunjukkan padanya arah menuju cermin yang sesungguhnya.
“Bukan cermin ini yang kau perlukan, Izel sayang.”
“Lalu apa, Bu?”
Suara Izel bergetar. Antara marah dan ingin menangis. Ibu melemparkan kaca di tangannya ke lantai. Sesaat kemudian ia sentuh bahu Izel dan menatapnya lebih dalam. Darah mengotori bahu Izel.
“Kamu harus menemukan cermin yang sesungguhnya.”
Izel tersenyum, kali ini benar-benar sinis. Seperti memberi tahu ibunya bahwa ia hanya mengada-ada.
“Singkirkan semua keraguan kamu, Nak. Temukan cermin itu! Kamu anak yang kuat. Tidak ada beban yang diberikan kepada orang yang tidak mampu mengembannya.”
Izel mulai terisak. Ibu mendekapnya.
“Maafkan aku, Bu.”
“Sst..tidak ada satu pun yang menghargai dirimu. Termasuk dirimu sendiri. Ibu tidak akan membiarkan itu terjadi. Sekarang singkirkan semua sampah ini dan pergilah wudlu. Cukup sampai di sini, Izel.”
Izel mengangguk-angguk. Beberapa menit kemudian ruangan itu sudah bersih kembali. Aku harus menemukan cermin itu, kata Izel. Memang tidak mudah untuk membuktikan kata-kata. Walaupun perubahan sudah terjadi, akan tetapi suatu saat bisa luntur juga.
Sama seperti sebuah komputer yang harus mengalami proses upgrading setelah jangka waktu tertentu. Tidak, tidak. Dalam hal ini benar-benar perjuangan yang berat. Karena apa yang Izel miliki pemberian Allah sejak lahir. Maka segala usaha Izel membuatnya semakin stres bahkan depresi. Walaupun bukan itu keinginannya. Izel memutuskan diam daripada mengalami depresi yang akhirnya semakin mengaburkan
jalan menuju cermin yang sesungguhnya.
Biar waktu yang menjawab apa yang terbaik buatnya dan buat orang-orang yang dicintainya. Sekarang ia hanya akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat orang bahagia dengan mengikhlaskan wajahnya apa adanya. Masalah uang yang sudah ia tabung, sepertinya lebih penting bila dipakai untuk biaya kuliah saja.