Cerpen

Irama Sunyi Tenggelamnya Malfa

Sembilan puluh sembilan kali aku mencoba mempertahankan posisiku di permukaan air, namun aku lupa aku tak bisa berenang. Tidak seperti yang dikatakan ibu. Ternyata aku bisa merasa melayang. Mungkin aku seperti terbang. Kalau ibu tahu pasti akan marah. Sesegera mungkin aku harus keluar dari air ini dan mendarat. Kata ibu tempat manusia yang paling aman di darat.

Akan tetapi tubuhku kaku. Terus saja melayang seolah ada yang menuntun dan hmm..a-aku, hidungku kesakitan. Zzz…

Dingin. Aku jadi ingat kejadian yang menimpa Si Emang Tukang Es Nongnong. Waktu itu aku memang agak nakal, saat mengintip dari balik gorden aku benar-benar tak bisa menahan liurku untuk mencicipi es yang dikerubuti oleh anak-anak (Mereka biasa kusebut teman-temanku, tapi aku tak tahu apakah mereka menganggapku teman juga).

Biasanya ibu akan memberikan es kepadaku, jika adikku Melan sudah tidak menginginkannya. Bekas Melan. Ibu selalu memberiku bekas Melan. Katanya es itu tak baik untuk kesehatanku, makanya aku hanya boleh mencicipi sedikit. Aturan baku untuk segala hal di rumah ini, hanya bagiku.

Ibu sedang pergi ke pasar, bersama adikku. Hatiku benar-benar ingin mencicipi es nongnong itu. Aku memperhatikan Jeni melahap esnya, itu rasa coklat. Aku sangat yakin. Lalu aku buka pintu dan mendekati Si Emang. Aku tersenyum. Si Emang pun tersenyum. “Eh Neng Malfa. Mau beli es, Neng?“ Aku menggeleng.

Aku tidak mengerti kenapa Si Emang menyodoriku secorong es, padahal aku tidak memesannya. Tapi aku senang.

“Eh Mang, jangan dikasih. Nanti ibunya marah. Tahu kan bagaimana tabiatnya?“ cegah seorang ibu. Oh, lidahku berliur. Apalagi Jeni pamer padaku, menyombongkan betapa enak rasa es itu.

“Iya saya tahu. Makanya saya kasih. Mumpung ibunya lagi gak ada.”

“Ya sudah. Terserah.” Si ibu pergi, aku mendapatkan es nongnongku.

Sore harinya aku kena pilek. Ibuku marah-marah saat tahu aku makan es. Aku disuruh diam dalam kamar dan tidur. Seperti biasa. Kali itu aku tak bisa tidur. Rasa khawatir menyerangku, ketika ibu menginterogasi tante Ririn. Ibu mengancam akan memberi pelajaran kepada Si Emang Tukang Es.

“Ini cuma kebetulan, Teh. Melan sering makan es. Tapi dia jarang sakit.”

“Kamu gak tahu apa-apa. Malfa itu berbeda! Kamu paham, Malfa berbeda!”

Aku tak berani lagi menguping. Kalau ibu tahu pasti ia akan marah. Hatiku benar-benar kacau. Pasti masalah ini telah menyakitinya. Kata ibu aku tak boleh menyakiti siapa pun. Seharusnya aku tak nakal tadi.

Ibu bilang aku berbeda. Malfa berbeda! Jaska, sepupuku, selalu bertanya-tanya padaku, apa maksudnya. Mana kutahu!

Tubuhku menelusup ke dalam selimut. Seolah itu akan melindungi aku dari kekhawatiran ini.

Ibu ada di rumah seharian pada esok harinya. Ia berlama-lama duduk di teras. Entah menunggu siapa. Aku tak boleh pergi ke sekolah. Melan pun ikut-ikutan tak mau pergi, supaya bisa bermain dengan Jeni dan Aji yang belum bersekolah.

Lepas tengah hari aku mendengar suara klenengan. Aku bergegas ke ruang tamu. Di balik gorden, seperti biasa, aku mengintip. Melan berjingkrak. Jeni dan Aji juga. Mereka pasti akan dibelikan es. Kalau aku tidak sedang pilek, mungkin..mungkin aku akan dibelikan juga. Maksudku, aku akan dibolehkan mencicipi bekas adikku.

Jeni dan Aji melahap corongnya dengan riang. Melan merengek, tapi ibu tidak menggubris. Kali ini ibu tidak memenuhi keinginan Melan. Aku heran.

“Kamu mau sakit kayak kakakmu?!” Ibu berkata. Rengekannya meninggi. “Ini gara-gara kamu!” Ibu tiba-tiba menuding Si Emang. “Kemarin kamu sengaja ngasih es sama Malfa sampai ia sakit, kan?”

“Loh, memang iya. Saya kasihan, dia mau beli es, tapi kayaknya gak bawa uang karena ibu sedang tidak ada. Betul begitu, kan?”

Jantungku berdebar. Ini gara-gara aku.

“Apa kamu bilang?” Ibu berkacak pinggang. “Kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina aku, ya. Di rumah ini tidak ada yang perlu dikasihani. Tidak juga anakku! Kami orang mampu, tahu?!” Melan ketakutan. Jeni dan Aji disuruh masuk oleh ibu mereka.

“Adaapa, sih? Kok ribut-ribut?” Tante Ririn yang hendak membuang air bekas cucian langsung menghambur.

“Gak usah ikut campur, aku sedang memberi pelajaran pada Si Biang Kerok ini. Sinih..!” Ibu merebut ember dari tangan tante Ririn. “Eh Teteh mau apa?” Tante Ririn tidak berhasil mempertahankan embernya. Aku langsung menutup mata.

Byurr!! Ibu telah menumpahkan air ke Si Emang. Aku yakin.

“Apa-apaan ini!” Si Emang beringsut.

“Teteh, jangan Teh!”

“Ayo pergi sana! Jangan pernah jualan di sini lagi!”

“ Ibu sudah membuat saya rugi! Lihat ini dagangan saya basah dan jadi kotor. Ibu harus mengganti rugi! Saya tidak terima. Saya akan tuntut ibu!”

“Jangan banyak cingcong, sana pergi. Kamu gak bisa tuntut saya karena kamu yang bersalah.”

Si Emang menggerakkan gerobaknya, hendak pergi. “Lihat saja nanti, saya akan tuntut!”

“Jangan pernah kembali ke sini, sana pergi tukang es sialan!”

“Aku juga gak sudi balik ke sini, ibu-ibu goblok!”

“Apa kamu bilang!” Ibu hendak mengejar tukang es itu. Tapi segera dicegah tante Ririn. “Sudahlah, Teh. Malu sama tetangga.”

Melan menangis, aku juga menangis. Kekhawatiranku terjadi.

Tukang es itu tak pernah kembali lagi. Entah kenapa aku merasa kesal terhadap ibu. Tapi aku diam saja. Karena kalau ibu tahu pasti ia akan marah.

Brrr..bibirku menggigil, rasanya beku. Aku tak bisa berkata-kata. Oh Tuhan, aku tak bisa bernapas. Kalau ibu tahu aku belum kembali pasti ia akan marah. Ia selalu mengkhawatirkanku.

Oh Tuhan aku lupa, tadi aku  sedang menanak nasi. Ibu pasti akan marah kalau nasinya gosong. Aku harus segera kembali. Atau ibu akan mengataiku lagi, Si Lamban. Yah, ia akan terus membiarkan cap itu menempel padaku. Aku tidak suka kalau ibu meremehkan hasil kerjaku, masakanku. Tapi aku diam saja.

Kata tante Ririn ibu terlalu menyayangiku, makanya ia sering merasa khawatir dan selalu membiarkanku diam di rumah. Ia takut aku tersakiti. Mungkinkah tante Ririn benar? Sekarang aku keluar rumah, dan aku tenggelam di sini. Seharusnya aku mendengarkan ibu. Aku telah berbuat nakal lagi padahal aku sudah besar.

Bu..maafkan Malfa. Aku seharusnya tahu ibu sayang sama aku. Pernah suatu kali aku membuatmu kesal (lagi). Seharusnya aku bisa bersikap seperti gadis 17 tahun lainnya.

Saat membaca undangan peringatan Isra Mi’raj di mesjid Al Aqsha aku merencanakan sesuatu. Aku akan hadir di sana. Walaupun aku tidak pandai bergaul seperti orang lain, lebih suka terbang di kamar. Seperti kata ibu, terbang ke alam mimpi.

Akan tetapi aku merasa perlu menyegarkan diri dengan mendengarkan ceramah dari Ustadz Fauzi. Tentu saja aku tak berani mengatakannya kepada ibu.

Pengajian itu masih tiga hari lagi. Aku sudah tak sabar.

Ibu dan Melan pergi ke pasar. Sebenarnya aku tadi ingin ikut, kerudungku sudah lusuh dan rusak. Tapi ibu tak mengajakku, hanya mengajak Melan, seperti biasanya. Kalau pergi sendiri aku tak berani. Pasti nanti kesasar lagi dan..aku suka bingung menghitung uang kembalian. Ada benarnya juga ibu menyuruhku diam di rumah. Dunia luar terlalu buas buatku.

Aku lupakan masalah kerudung, jadi aku mencuci piring saja. Saat ibu dan Melan pulang makanan untuk makan siang belum kusiapkan. Bahkan cuci piring pun belum selesai. Ibu tidak marah sama sekali. Ia sudah membeli makanan jadi. Lalu aku teruskan mencuci piring. Tanpa ingin tahu apa saja yang ibu beli. Kata ibu kita tidak boleh mencampuri urusan orang lain. Mengurus piring kotor saja aku suka kewalahan, apalagi mengurusi perkara orang lain?

Di ruang tengah kedengarannya ramai. Tante-tanteku sepertinya berkumpul. Oh mungkin sedang mengamati belanjaan ibu. Biasaaa..ibu-ibu. Mereka tertawa-tawa. Membicarakan kebodohan penjual mungkin atau karena memuji-muji kepandaian ibu menawar. Tapi aku mendengar namaku disebut. Aku jadi penasaran.

“Murah sekali nih harganya. Aku juga mau beli ah. Di toko dekat tukang emas itu yah?”ujar tante Ririn.

“Bajunya cuma beli dua? Buat siapa aja?”tanya tante Obit.

“Ya buat aku sama Melan,”jawab ibu.

“Lho? Malfa gak dibeliin?”

Aku berhenti menggosok piring. Lalu mengintip dari balik pintu dapur. Memang baju yang dipegang tante Ririn bagus. Warnanya putih. Aku juga berniat membeli baju seperti itu, seperti yang kulihat di TV.

Ibu dan Melan saling pandang. Lalu menggeleng.

“Lho kok gitu?”kata tante Obit.

“Iya, padahal kemarin dia bilang mau beli kerudung baru. Emangnya tante gak ajak dia ke pasar?”tambah Jaska sepupuku yang sedari tadi ikut nimbrung.

“Kasian dong, beliin kek,”usul tante Ririn.

“Tadinya sih mau, cuma uangnya udah keburu abis,”jawab Melan mendahului ibu.

Aku terhenyak. Habis? Tidak mungkin. Semalam aku lihat ayah memberikan uang yang banyak pada ibu. Dan aku mendengar ayah, kalau aku tidak salah dengar, ayah menyuruh ibu memberiku sedikit uang. Makanya pagi ini aku agak berharap akan bisa ikut belanja karena aku perlu kerudung baru.

Aku benar-benar berhenti mencuci piring dan melarikan diri ke tempat teraman di dunia ini. Kamar. Ibu dan yang lainnya saling pandang melihatku bergegas mengunci diri.

Perang pun mulai. Sehari semalam aku tak keluar kamar. Ayah, ibu, Melan bergantian membangunkan aku, dan membujukku untuk makan, untuk menonton sinetron kesukaanku. Hah, mana bisa aku melakukan itu.

Aku tak peduli ibu akan mengataiku bodoh berkali-kali.

Jam 5 pagi pintu kamarku digedor-gedor!

“Malfa ayo bangun! Kamu harus makan. Nanti badanmu yang gendut itu akan mengurus. Ayah tidak suka itu,”teriak ayah. Aku panik. Pintuku digedor-gedor lagi. Kepalaku jadi pusing. Terpaksa aku mengalah.

“Kamu habis nangis? Kenapa sih? Kenapa nangis segala?”Rona muka ayah tampak lain. “Kamu kenapa sih dari kemarin mengurung diri begitu?”Ibu angkat bicara.

Entah kenapa aku merasa tertusuk dengan perkataan itu. Kupikir ibu sudah mengerti. “Kamu tinggalin cucian kotor sampe-sampe Melan yang nerusin. Ada apa sih! Setiap kali dibentak kamu nangis. Tapi kemarin kan ibu gak marah kamu gak siapin makan siang.”

Airmata mengalir lagi. Aku terjatuh. Histeris, aku menjerit histeris dan berguling-guling di lantai.

“Heu-eueu, heueu…”pilu aku rasakan. Tak peduli mereka menganggapku gila. Aku benar-benar tak peduli.

Aku akan tetap bungkam selama aku tahu ibu akan marah karena hal itu.

“Malfa kenapa kamu? Diam, sudah diam! Jangan kayak anak kecil! Aku bosan mendengar anak bodoh itu, Bu.”

Melan keluar dari kamar. “Ada apa sih, Teh? Pake nangis kayak gitu segala. Kepalaku mau pecah nih,” komentarnya.

Mendengar keributan itu Jaska datang. Aku merajuk padanya, tanpa kata-kata. Seolah dia malaikat pelindung yang dikirim Tuhan. Orang-orang makin bingung. Sama bingungnya dengan diriku.

“Ada apa Malfa?”Aku menjawab dengan tangis yang pilu. “Tante? Om?” Keduanya menggeleng. Wajah mereka tampak khawatir dan mungkin malu. “Melan?”

“Nah barusan gua baru nanya sama dia? Boro-boro dijawab, malah nangis aja kayak bayi.”

“Kenapa sih, kok pada gak tahu?!”Bentak Jaska kesal. Dia membelaiku lembut. Aku jadi agak tenang. Lalu ia membisikkan sesuatu padaku. Aku mengangguk. Dia sahabat terbaikku.

“Om, Tante,” katanya kemudian, “Malfa ingin beli baju baru juga. Ia ingin pergi ke pengajian dengan baju baru. Sama kayak tante dan Melan.”

Ibu duduk lemas. Ayah marah. “Aku kan sudah kasih uang untuk dia, Bu! Kenapa ibu gak belikan?”

“Ya ampuuun! Susah amat sih bilang kayak gitu aja. Kenapa gak dari kemarin? Ibu kan udah ngajak kamu, heuh kamu pura-pura gak denger. Nanti siang kita ke pasar.”

Akhirnya aku berhasil ke pengajian dengan baju yang layak.

 

Jaska tidak serius. Tapi bagaimana yah? Hanya dia yang mau mendengarkanku, walaupun hanya sedikit yang aku katakan. Hanya dia juga yang suka membuatku tertawa. Tidak hanya itu, dia juga selalu menanyakan bagaimana perasaanku. Apakah aku bodoh jika mengikuti sarannya? Membebaskan diri.

Entahlah kadang aku merasa Jaska benar. Kadang Jaska memberi jawaban akan pertanyaanku selama ini. Aku memang berbeda. Seperti kata ibu.

Menurutnya aku bisa lebih baik kalau aku mau. Yang harus aku lakukan hanya keluar dari penjara selama beberapa menit saja. Masa dia menganggap kamarku sebagai penjara? Kadang dia memang aneh. Pokoknya aku harus menambah ilmu pengetahuan. Wah payah juga. Aku kan tak suka belajar. Makanya aku tinggal kelas sebanyak 3 kali, sampai akhirnya aku sekelas dengan adikku. Aku tidak perlu malu, kata Jaska.

Kadang aku berpikir, aku telah menyakiti orang-orang di sekitarku. Terutama ibu. Aku selalu membuatnya susah.

Makanya aku ingin mati saja. Daripada selalu menyakiti orang.

Seperti tadi. Aku sempat kesal sama ibu. Kalau dia tahu pasti akan marah. Waktu ibu bilang jangan keluar dari dapur karena ada pacar Melan di ruang tamu aku agak dongkol. Sumpah serapah sempat keluar dari mulutku. Karena dongkol tadi aku sengaja ke ruang tamu, cuma ingin membuat Melan dan ibu kesal. Aku lewat begitu saja. Begitu sampai di pelataran, Melan menyusulku.

“Teteh ngapain sih barusan. Gak sopan, tahu! Mau bikin mama malu yah?!”seru Melan murka. Matanya melotot padaku.

“Gak kok. Cuma lewat. Aku kan mau ke warung,”ujarku bohong.

Plak! Melan menamparku. Melan menamparku!

“Eu..euh! Teteh, teteh..awas kalau sekali-kali lagi!” Tanpa ba bi bu Melan langsung kembali ke dalam. Meninggalkanku dalam keadaan shock.

Wajahku, hatiku hancur lebur. Kalau aku ditelan bumi itu prestasi terbaikku saat ini. Sekarang aku benar-benar akan tenggelam.

 

Samar aku mendengar suara. Mungkin suara dari dalam hatiku. Hm..bukan itu suara seseorang. Dia memanggil namaku.

“Malfaaa! Malfaaa!”

Suara itu kukenal. Perempuan.

“Ibu?!” jeritku, namun yang kudengar hanya suara gelembung air.

“Malfaaa!” Itu suara Jaska.

“Teteeeh!” Melan? Mungkinkah itu suara Melan?

Tubuhku benar-benar sudah kaku. Saat seseorang mengucapkan takbir, aku menyerah. Hatiku bergetar. Dalam sekejap tubuhku naik ke udara diiringi jeritan-jeritan tak jelas. Makin lama suara-suara makin menghilang. Namun aku yakin ibu, Jaska, dan Melan menantiku di tepian sungai.

Tak ada satu kata pun yang menembus hatiku. Karena sayapku sudah karam, dalam diam.

TAGS

«

»

what do you think?

Your email address will not be published. Required fields are marked *